Sejarah tak hanya membahas tentang perjuangan kemerdekaan, tetapi juga masalah ekonomi. Kali ini saya ingin memberikan info tentang perkembangan ekonomi Indonesia.
Membahas tentang perekonomian Indonesia memang tak luput dari masalah krisis setalah merdeka dimana inflasi yang sangat tinggi. Karena pada saat itu beredarnya lebih dari satu mata uang dan masih dikuasai oleh mata uang Jepang yaitu sekitar 4 milyar. Pihak yang paling dirugikan tentu saja petani. Hal ini dikarenakan pada masa pemerintahan Jepang petani merupakan produsen yang paling banyak menyimpan mata uang Jepang.
Pada waktu itu Indonesia menggunakan tiga mata uang yaitu De Javasche Bank (sekarang BI), mata uang pamerintah Hindia Belanda, dan mata uang pendudukan Jepang. Dan pada tanggal 6 Maret 1946 Panglima AFNEI (Allied Forces for Netherlands East Indies/pasukan sekutu) mengumumkan berlakunya mata uang NICA didaerah kekuasaan sekutu. Kemudian pada bulan Oktober pemerintah RI juga mengekuarkan uang kertas baru yaitu ORI (Oeang Republik Indonesia) sebagai pengganti uang Jepang.
Pada saat kesulitan ekonomi pada tanggal6 Maret 1946 Panglima AFNEI yang baru, Letnan Jenderal Sir Montagu Stopford mengeluarkan mata uang baru yang dimaksudkan untuk mengganti uang Jepang yang harganya turun. Dan Pemerintah melalui Perdana Menteri Syahrir merespon tindakan tersebut.
Karena hal itu berarti pihak Sekutu telah melanggar persetujuan yang
telah disepakati, yakni selama belum ada penyelesaian politik mengenai
status Indonesia, tidak akan ada mata uang baru.
Untuk melaksanakan koordinasi dalam pengurusan bidang ekonomi dan
keuangan, pemerintah membentuk Bank Negara Indonesia pada tanggal 1 November 1946. Bank Negara ini semula adalah Yayasan Pusat Bank yang didirikan pada
bulan Juli 1946 dan dipimpin oleh Margono Djojohadikusumo. Bank negara
ini bertugas mengatur nilai tukar ORI dengan valuta asing.
Adanya blokade ekonomi oleh Belanda sejak bulan November 1945 untuk menutup pintu perdagangan luar negri RI. Blokade laut ini dimulai pada bulan November 1945 ini, menutup pintu
keluar-masuk perdagangan RI. Adapun alasan pemerintah Belanda melakukan
blokade ini adalah:
1. Untuk mencegah dimasukkannya senjata dan peralatan militer ke Indonesia.
2. Mencegah dikeluarkannya hasil-hasil perkebunan milik Belanda dan milik asing lainnya.
3. Melindungi bangsa Indonesia dari tindakan-tindakan yang dilakukan oleh orang bukan Indonesia.
4. Kas negara kosong.
5. Eksploitasi besar-besaran di masa penjajahan, tanah pertanian rusak, tenaga kerja dijadikan romusha, tanah pertanian ditanami tanaman keras.
Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi, antara lain :
1. Program Pinjaman Nasional dilaksanakan oleh menteri keuangan Ir. Surachman dengan persetujuan BP-KNIP, dilakukan pada bulan Juli 1946.
2. Upaya menembus blokade dengan diplomasi beras ke India seberat 500.000 ton, mangadakan kontak dengan perusahaan swasta Amerika, dan menembus blokade Belanda di Sumatera dengan tujuan ke Singapura dan Malaysia.
3. Konferensi ekonomi Februari 1946
dengan tujuan untuk memperoleh kesepakatan yang bulat dalam
menanggulangi masalah-masalah ekonomi yang mendesak, yaitu : masalah
produksi dan distribusi makanan, masalah sandang, serta status dan
administrasi perkebunan-perkebunan.
4. Pembentukan Planning Board (Badan Perancang Ekonomi) 19 Januari 1947
5. Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera) 1948 yaitu mengalihkan tenaga bekas angkatan perang ke bidang-bidang produktif.
6. Kasimo Plan yang intinya mengenai usaha swasembada pangan dengan
beberapa petunjuk pelaksanaan yang praktis. Dengan swasembada pangan,
diharapkan perekonomian akan membaik
Pada masa Orde Baru ekonomi Indonesia maju pesat yaitu ditunjukkan dari pendapatan per kapita yang meningkat dari $70 menjadi $1.000. Melalui kebijakan moneter dan keuangan yang ketat, inflasi ditahan sekitar 5%-10%, rupiah stabil dan dapat diterka, dan pemerintah menerapkan sistem anggaran berimbang.
Pada pertengahan 1980-an
pemerintah mulai menghilangkan hambatan kepada aktivitas ekonomi.
Langkah ini ditujukan utamanya pada sektor eksternal dan finansial dan
dirancang untuk meningkatkan lapangan kerja dan pertumbuhan di bidang
ekspor non-minyak. GDP nyata tahunan tumbuh rata-rata mendekati 7% dari 1987-1997, dan banyak analisis mengakui Indonesia sebagai ekonomi industri dan pasar utama yang berkembang.
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dari 1987 - 1997 menutupi beberapa kelemahan struktural ekonomi Indonesia. Sistem legal sangat lemah, dan tidak ada cara efektif untuk menjalankan kontrak, mengumpulkan hutang, dan Indonesia pun mengalami kebangkrutan.Aktivitas bank sangat sederhana, dengan peminjaman
berdasarkan-"collateral" menyebabkan perluasan dan pelanggaran
peraturan, termasuk batas peminjaman. Hambatan non-tarif, penyewaan oleh
perusahaan milik negara, subsidi domestik, hambatan ke perdagangan
domestik, dan hambatan ekspor seluruhnya menciptakan gangguan ekonomi.
Krisis finansial Asia Tenggara yang melanda Indonesia pada akhir 1997 dengan cepat berubah menjadi sebuah krisis ekonomi dan politik. Respon
pertama Indonesia terhadap masalah ini adalah menaikkan tingkat suku
bunga domestik untuk mengendalikan naiknya inflasi dan melemahnya nilai tukar rupiah, dan memperketat kebijakan fiskalnya. Pada Oktober 1997, Indonesia dan International Monetary Fund
(IMF) mencapai kesepakatan tentang program reformasi ekonomi yang
diarahkan pada penstabilan ekonomi makro dan penghapusan beberapa
kebijakan ekonomi yang dinilai merusak, antara lain Program Permobilan
Nasional dan monopoli, yang melibatkan anggota keluarga Presiden
Soeharto. Rupiah masih belum stabil dalam jangka waktu yang cukup lama,
hingga pada akhirnya Presiden Suharto terpaksa mengundurkan diri pada
Mei 1998.
Di bulan Agustus 1998, Indonesia dan IMF menyetujui program pinjaman dana di bawah Presiden B.J Habibie. Presiden Gus Dur yang terpilih sebagai presiden pada Oktober 1999 kemudian memperpanjang program tersebut.
Pada 2010 Ekonomi Indonesia sangat stabil dan tumbuh pesat. PDB bisa dipastikan melebihin Rp 6300 Trilyun meningkat lebih dari 100 kali lipat dibanding PDB tahun 1980. Setelah
India dan China, Indonesia adalah negara dengan ekonomi yang tumbuh
paling cepat diantara 20 negara anggota Industri ekonomi terbesar
didunia G20.
Saat ini, satu dekade kemudian, Indonesia telah keluar dari krisis
dan berada dalam situasi dimana sekali lagi negara ini mempunyai sumber
daya keuangan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pembangunan. Perubahan
ini terjadi karena kebijakan makroekonomi yang berhati-hati, dan yang
paling penting defisit anggaran yang sangat rendah. Juga cara pemerintah
membelanjakan dana telah mengalami transformasi melalui "perubahan
besar" desentralisasi tahun 2001 yang menyebabkan lebih dari sepertiga
dari keseluruhan anggaran belanja pemerintah beralih ke pemerintah
daerah pada tahun 2006. Hal lain yang sama pentingnya, pada tahun 2005,
harga minyak internasional yang terus meningkat menyebabkan subsidi
minyak domestik Indonesia tidak bisa dikontrol, mengancam stabilitas
makroekonomi yang telah susah payah dicapai. Walaupun terdapat risiko
politik bahwa kenaikan harga minyak yang tinggi akan mendorong tingkat
inflasi menjadi lebih besar, pemerintah mengambil keputusan yang berani
untuk memotong subsidi minyak.
Keputusan tersebut memberikan US$10 miliar tambahan untuk pengeluaran bagi program pembangunan. Sementara itu, pada tahun 2006 tambahan US$5 miliar telah tersedia berkat kombinasi dari peningkatan pendapatan yang
didorong oleh pertumbuhan ekonomi yang stabil secara keseluruhan dan
penurunan pembayaran utang, sisa dari krisis ekonomi. Ini berarti pada
tahun 2006 pemerintah mempunyai US$15 miliar
ekstra untuk dibelanjakan pada program pembangunan. Negara ini belum
mengalami 'ruang fiskal' yang demikian besar sejak peningkatan
pendapatan yang dialami ketika terjadi lonjakan minyak pada pertengahan
tahun 1970an. Akan tetapi, perbedaan yang utama adalah peningkatan
pendapatan yang besar dari minyak tahun 1970-an semata-mata hanya
merupakan keberuntungan keuangan yang tak terduga. Sebaliknya, ruang
fiskal saat ini tercapai sebagai hasil langsung dari keputusan kebijakan
pemerintah yang hati hati dan tepat.
Walaupun demikian, sementara Indonesia telah mendapatkan kemajuan
yang luar biasa dalam menyediakan sumber keuangan dalam memenuhi
kebutuhan pembangunan, dan situasi ini dipersiapkan untuk terus
berlanjut dalam beberapa tahun mendatang, subsidi tetap merupakan beban
besar pada anggaran pemerintah. Walaupun terdapat pengurangan subsidi
pada tahun 2005, total subsidi masih sekitar US$ 10 miliar dari belanja pemerintah tahun 2006 atau sebesar 15 persen dari anggaran total.
Berkat keputusan pemerintahan Habibie (Mei 1998 - Agustus 2001) untuk
mendesentralisasikan wewenang pada pemerintah daerah pada tahun 2001,
bagian besar dari belanja pemerintah yang meningkat disalurkan melalui
pemerintah daerah. Hasilnya pemerintah propinsi dan kabupaten di
Indonesia sekarang membelanjakan 37 persen dari total dana publik, yang mencerminkan tingkat desentralisasi fiskal yang bahkan lebih tinggi daripada rata-rata OECD.
Dengan tingkat desentralisasi di Indonesia saat ini dan ruang fiskal
yang kini tersedia, pemerintah Indonesia mempunyai kesempatan unik untuk
memperbaiki pelayanan publiknya yang terabaikan. Jika dikelola dengan
hati-hati, hal tersebut memungkinkan daerah-daerah tertinggal di bagian
timur Indonesia untuk mengejar daerah-daerah lain di Indonesia yang
lebih maju dalam hal indikator sosial. Hal ini juga memungkinkan
masyarakat Indonesia untuk fokus ke generasi berikutnya dalam melakukan
perubahan, seperti meningkatkan kualitas layanan publik dan penyediaan
infrastruktur seperti yang ditargetkan. Karena itu, alokasi dana publik
yang tepat dan pengelolaan yang hati-hati dari dana tersebut pada saat
mereka dialokasikan telah menjadi isu utama untuk belanja publik di
Indonesia kedepannya.
Sebagai contoh, sementara anggaran pendidikan telah mencapai 17.2 persen dari total belanja publik- mendapatkan alokasi tertinggi dibandingkan sektor lain dan mengambil sekitar 3.9 persen dari PDB pada tahun 2006, dibandingkan dengan hanya 2.0 persen dari PDB pada tahun 2001 - sebaliknya total belanja kesehatan publik masih dibawah 1.0 persen dari PDB .
Sementara itu, investasi infrastruktur publik masih belum sepenuhnya
pulih dari titik terendah pasca krisis dan masih pada tingkat 3.4 persen
dari PDB .
Satu bidang lain yang menjadi perhatian saat ini adalah tingkat
pengeluaran untuk administrasi yang luar biasa tinggi. Mencapai sebesar
15 persen pada tahun 2006, menunjukkan suatu penghamburan yang signifikan atas sumber daya publik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar